Senin, 07 Mei 2012

My Caramel Sweetheart


Seberapa manis? Ah, aku tak terlalu suka manis. Agaknya hubunganku dengan gula memang tak terlalu harmonis. Maka, butuh waktu lama buatku untuk mengenali nama warna yang tepat untuk menggambarkan bola mata kekasihku. Coklatnya tak sama dengan coklat bola mataku yang pekat. Coklatnya sewarna gula yang meleleh dan memekat terkena panas. Warna bola mata itu adalah karamel.

Untukku, tatap mata itu memang semanis gula. Jenis gula istimewa yang selalu kusuka rasanya. Menemaninya, meski dalam kurun waktu yang sangat singkat, membuatku terkesima akan manis jiwanya. Manis yang lekat namun menyegarkan. Seperti karamel yang tetap manis meski tertempa panas, kekasihku pun tetap bersikap manis meski aku tahu betapa sakit itu bertubi-tubi menderanya. Ia bisa saja berubah menjadi masam, pahit ataupun tawar; tapi seperti karamel yang melumer lembut dan manis di mulut, demikianlah ia tetap memilih bersikap hangat pada keluarga, sahabat dan paramedis yang merawatnya. Kekasihku memang semanis karamel.

Gambaran coklat karamel itu seolah tak dapat hilang hingga kini. Rasanya cukup aneh karena selama lebih dari tiga tahun berteman, baru sekali aku benar-benar menatap matanya. Lagipula, mana berani aku menatapnya lekat? Aku dibesarkan dengan pesan bahwa pantang menatap orang tepat di mata. Terlebih orang yang kita hormati. Tambahan lagi bola mata itu selalu terlindung di balik selapis lensa. Begitupun, hanya perlu sekali untuk membuatku terpesona dan hanyut dalam lingkaran karamel itu.

Ingin rasanya aku bertanya pada kekasihku, apa yang dilihatnya lewat bola karamel itu. Bagaimana caranya mencintaiku tanpa syarat. Sayang aku tak akan pernah tahu apa yang dilihatnya ada padaku yang teramat biasa dibandingkan dengan entah berapa puspa indah yang mengerumuninya. Disandingkan dengan mereka, aku hanyalah ibarat kembang rumput liar kusam di tepi jalan. Sayang, si karamel itu kini sudah tak lagi menatapku. Kekasih karamelku yang manis telah nyaman di pangkuan-Nya.

Tidak pernah kucoba memungkiri betapa rindu memenuhi dada dan terasa demikian menyesak karena tak dapat lagi kupersembahkan. Pada saat demikian, aku menutup mata dan menyanyikan gita tentang penyertaan-Nya yang sempurna, sama seperti ketika aku menatap lekat bola mata itu sambil mengidungkan lagu memuji Sang Pemilik Hidup. Aku akan selalu tersentuh mengenang sorot karamel itu seolah terhanyut dalam lantun suaraku yang demikian sederhana. Banyak nada yang hilang tertelan air mata namun si manis karamel terus membuatku berani berkidung.

Ombak dan gelombang kesedihan menghantam kami demikian keras ketika akhirnya sorot karamel itu terpejam dalam tidur panjang. Ia akhirnya harus pulang ke tempat yang jauh lebih baik. Butuh waktu lama buatku mampu memahami arti kepasrahan yang justru membuatnya bahkan makin manis. Butuh jutaan detik hingga aku dapat melihat dan mengucap syukur bahwa kekasihku diijinkan-Nya mengakhiri pertandingan hidupnya dengan teduh dan manis – dalam doa di tengah orang-orang yang dikasihi dan mengasihinya dengan iman teguh yang tak tergoyahkan. Sampai akhir salib itu setia dipanggulnya.

... dan kini tiap kuucap doa, betapa aku terkagum akan karya-Nya yang mengijinkan kekasih karamelku pulang dengan akhir yang manis untuk memulai awal yang manis pula bersama-Nya.

Rabu, 18 April 2012

Jatuh Cinta Berkali-Kali

Senja itu surat cintaNya buat saya
Gambar dari : http://desktopia.net/nature/beach-at-dusk-desktop-wallpaper/

Rembang senja mengembangkan malam. Mentari yang seharian perkasa menerangi bumi kini menjadi serupa bola jingga yang berangsur undur diri. Perlahan warna langit pun berganti; tidak pernah ia sedemikian kaya nuansa selain saat senja tiba. Waktu jadi kehilangan makna; semua seolah membeku dalam keindahan lukisan bentang langit.

Angkutan umum yang saya tumpangi melaju ke arah timur; berangsur menjauhi bola api yang perlahan terbenam di ufuk barat. Saya menjadi penumpang tunggal setelah dua orang lain turun di sisi jalan beberapa menit lalu. Kesendirian membuat perhatian saya terpusat pada senja, langit dan segala pesonanya.

.... indah.....

Sang Pemilik Semesta selalu saja berhasil membuat saya jatuh cinta berkali-kali. Bagi saya, senja itu bagai surat cinta-Nya. Pesan bahwa apapun pergumulan hari ini sudah cukup; kesusahan hari ini sudah cukup untuk hari ini, dan dalam pekat malam yang terhampar di hadapan Ia menyediakan tempat persembunyian kecil untuk beristirahat -- saat untuk berbincang denganNya tentang pergulatan hari ini.

Sekelam, sepahit, seberat apa pun hari ini sudah selesai; ia telah ditebus oleh lembayung senja itu. Ketika esok menjelang dengan tantangannya yang kadang nyaris tak tertahankan, saya akan menantikan senja -- saat Sang Maha Kasih menuliskan surat cintanya buat kita semua, "cukup untuk hari ini. Beristirahatlah sayang...."

... dan senja itu selalu saja membuatku jatuh cinta berkali-kali...

Hujan


Gambar dari:
http://www.205thw.ph/wp-content/uploads/2011/09/rainy-days.png
Dedaunan menyukai hijau. Fajar selalu rindu pada jingga. Senja tresna pada lembayung. Seperti laut lekat pada biru dan puspa bangga akan semburat berkas pelangi di mahkotanya. Tapi bumi lebih memilih kelabu sendu. Dunia penuh nuansa warna semarak, namun bumi tetap setia pada kelabu muram.

... dan bumi pun unjuk bicara ...

"Kelabu mengingatkanku pada langit. Langit yang kukasihi dengan sangat. Tidakkah kau tahu betapa tiap detik tak letih aku menengadah menatap langit?"

"Malang langit tak pernah tergapai. Apakah aku ini? Hanya seberkas debu. Hina dina aku hingga di ujung sepatu pun aku tak diingini. Namun aku tetap mencintai langit meski tak mungkin tanganku merengkuhnya. Aku memang ngeyel -- konyol. Sayang, apa dayaku. Aku sudah terlanjur mencinta."

"Bunga suka pada langit nan biru. Kelopaknya bermekaran menawan centil di bawahnya. Para pekerja bersorak girang ketika ia berjubahkan lembayung ungu. Pertanda malam menghantar rehat sejenak. Sedang nelayan pun pelaut berjaga menunggu jingga saat daratan nampak di pelupuk-- mengijinkan tubuh lelah mereka bersandar."

"Aku pun menyukai semua warna langit -- tapi aku selalu rindu pada kelabu pengiring hujan dan kadang badai. Semua serentak bersembuyi, bahkan tetumbuhan pun seolah merunduk kala langit berselimut kelabu -- tapi aku selalu rindu pada kelabu."

"Kelabu adalah balas langit atas segala rinduku. Kala ia telah menyelubungi dirga -- makin lama makin pekat , itulah bahasa langit yang tak dapat lagi membendung kasihnya pada hamba hina dina ini. Perlahan kelabu luruh bersama tetes-tetes air mata langit. Jatuh ia luruh memelukku erat. Saat itulah langit turun menyapaku -- mesra dan syahdu. Perlahan kelabu akan memudar, dan di sanalah selengkung busur warna-warni membentuk titian ke arah langit. Ia serasa demikian dekat -- tak berjarak."

"Ah langit, karena aku tak mungkin meraihmu, kau turun menyapaku."

"Itulah mengapa aku begitu kasmaran pada kelabu saat yang lain mengagumi biru. Ternyata aku lebih membutuhkan kehadiran langit, bukan hanya hadiah-hadiahnya yang menyilaukan mata. Aku mencintai langit saat biru, jingga, ungu dan terlebih saat ia kelabu."

Selasa, 27 Maret 2012

Di sana


Suatu hari nanti
Aku akan terjaga di sana
Di tempat kemilau cahaya
menari sepanjang hari
Dan entah kapan

langkahku tak lagi memijak tanah berbatu
‘karna kan selalu ada padang rumput hijau
di tepi sungai jernih gemerlapan
Aku akan menutup mata

biarkan indraku yang lain mengembara
‘kan kusentuh dedaunan dan rumpun bunga
‘kan kuhirup segar dan kayanya udara
dan biarkan hatiku merasa
satu uluran tangan yang begitu kudamba
akankah kau ada di sana?