Jumat, 25 November 2016

LEAFIE : KEKUATAN MIMPI YANG HANCUR

Judul Buku : Leafie - Ayam Buruk Rupa dan Itik Kesayangannya
Judul Asli: Madangeul Naon Amtak
Penulis: Hwang Sun-mi
Ilustrator: Kim Hwan Young
Alih Bahasa: Dwita Rizki Nientyas
Penerbit: Qanita
Tempat Terbit: Bandung
Tahun Terbit: Februari, 2013 (Cetakan Pertama)
Tebal Buku: 224 halaman
ISBN: 978-602-922-575-4

LEAFIE adalah seekor ayam betina yang punya satu impian sederhana : mengerami dan menetaskan anak ayam. Sayangnya, mimpi Leafie mustahil terwujud karena ia sudah berhenti bertelur. Begitupun, dari celah kandang sempitnya, ia terus memelihara mimpinya sembari mengagumi dedaunan akasia yang tumbuh di halaman. Lewat tokoh Leafie, buku ini mengetuk kesadaran bahwa meskipun mimpi dapat saja hancur, ia tidak dapat dimusnahkan. Mimpi dapat berubah bentuk, dan selagi seseorang masih dapat bermimpi, ia tidak akan kehilangan dan keberanian.

Agaknya Hwang Sun-mi, penulis buku ini, menciptakan karakter Leafie sebagai personifikasi dirinya yang mengidap penyakit jantung namun tetap memelihara mimpi untuk menjadi polisi, atau  penyidik. Sadar akan kelemahan fisiknya, ia mengagumi sosok yang tangguh mempertahankan mimpi seperti Leafie.

Dikemas dalam bentuk fabel kontemporer, Leafie tidak hanya memikat pembaca asal Korea. Setelah diangkat sebagai film animasi pun, kisah ini disambut baik di festival Cannes dan menjadi Best Family Film 2011 di Sitges Festival, Spanyol.  Keberhasilan ini mengesankan bahwa dunia rindu diingatkan akan kekuatan mimpi.

Secara keseluruhan, penyajian kisah Leafie menimbulkan kesan yang hangat, sederhana, dan ringan. Begitupun, pemaknaan mendalam dari berbagai konflik tersaji apik lewat sudut pandang Leafie. Jalan ceritanya pun terjalin apik. Kejutan terbesar terletak di akhir cerita ketika akhirnya Leafie dapat memandang Musang, musuh besarnya, dengan sudut pandang penuh kasih. Namun, kekuatan ceritanya justru terletak pada penggambaran emosi yang kuat. Membacanya, kita seolah dapat merasakan pergumulan Leafie.

Pada awal kisah, Leafie yang sangat ingin menetaskan anak ayam mendapati dirinya tidak lagi dapat bertelur. Dalam kondisi masih hidup, ia dibuang ke lubang pembuangan ayam sekarat. Namun begitu, Leafie masih ingin hidup, dan dengan bantuak bebek pengelana liar ia dapat meloloskan diri dari Musang yang mengintainya di dekat lubang. Bersama bebek, Leafie sementara tinggal di halaman petani. Sayangnya, para ternak penghuni halaman tidak mau menerima Leafie.

Suatu hari, Leafie menemukan telur di semak mawar, dan memutuskan untuk mengeraminya. Anehnya, bebek pengelana  terus menjaga Leafie, dan bahkan mengorbankan diri menjadi mangsa Musang untuk menyelamatkannya. Ketika akhirnya menetas, Leafie akhirnya sadar bahwa telur yang ia erami adalah telur bebek, dan anak itik yang diasuhnya itu adalah anak si bebek liar. Begitupun, Leafie tetap membesarkan Greenie, si anak itik, dengan penuh kasih.

Kehidupan di padang tidaklah mudah bagi Leafie dan Greenie. Mereka harus terus berpindah tempat dan waspada terhadap ancaman Musang. Ditempa berbagai kesulitan, Leafie berubah makin tangguh, dan Grennie pun tumbuh menjadi bebek liar yang kuat. Perlahan Leafie sadar bahwa lambat laun Grennie akan bergabung dengan kawanan bebek liar dan pergi meninggalkannya. Meski berat, Leafie pun melepas anak itik kesayangannya pergi.

Kisah tidak berhenti di situ untuk Leafie. Meski satu per satu mimpinya telah terwujud: mengerami telur, menetaskan telur, dan membesarkan anak, ia akhirnya mempunyai satu mimpi terakhir, “Aku juga ingin terbang. Aku ingin terbang mengikuti mereka!” Tetapi, dapatkah seekor ayam terbang? Berhasilkan Leafie mewujudkan mimpi terakhirnya?

Sulit untuk tidak jatuh cinta pada tokoh Leafie yang menjalani kehidupannya dengan penuh keberanian, sadar akan kehendak bebasnya, dan tidak menyerah mewujudkan mimpinya. Dengan berani ia tidak mengambil ‘mentalitas korban’ dan dengan sadar memilih menentukan hidupnya sendiri – dimulai dengan menamai dirinya sendiri Leafie yang berarti Dedaunan.

“Dedaunan adalah ibu dari para bunga. Bernapas sambil bertahan hidup walau dihembus angin. Menyimpan cahaya matahari dan membesarkan bunga putih yang menyilaukan mata. Jika bukan karena dedaunan, pohon pasti tidak dapat hidup. Dedaunan benar-benar hebat.” “Leafie – dedaunan … Benar, nama yang sangat cocok untukmu,” pungkas Pengelana. (Hal. 85)


Setiap pembaca, tak peduli anak, remaja, atau dewasa niscaya dapat melihat cerminan dirinya pada tokoh Leafie yang pantang menyerah. Ayam betina buruk rupa ini berhasil menyampaikan pesan sang penulis: bahwa mimpi mungkin berubah tapi tak dapat musnah. [CU-NOV16]

Sabtu, 19 November 2016

Miss Marple’s Final Cases: Tangkap Dulu Kelincinya



Identitas Buku
Judul : Miss Marple’s Final Cases
Alih Bahasa : Suwarni A.S.
Penulis : Agatha Christie
Bahasa : Indonesia
Halaman : 172
Tahun Terbit : 2014 (cetakan kelima)
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

ISBN : 9792232592 (ISBN13: 9789792232592)

˜

Sinopsis
[1│Perlindungan]
Saat merangkai kembang krisan di gereja, Diana ‘Bunch’ Harmon – istri pendeta Julian Harmon – menemukan seorang pria sekarat akibat luka tembak di dadanya. Sebelum meninggal, pria misterius itu mengucapkan kata Sanctuary serta menunjuk mantolnya.

Curiga, Diana meneliti mantol pria itu dan menemukan tiket penyimpanan di sebuah stasiun kereta api, arloji tua berinisial W.S. dan beberapa benda lain. Untuk memecahkan teka-teki kematian itu, Bunch akhirnya meminta bantuah Jane Marple, bibinya, yang tengah berada di London.

Petunjuk-petunjuk yang awalnya nyaris tidak berhubungan itu kemudian membawa pada kisah cinta antara Zobeida, seorang  aktris teater,  dan Walter St. John – si pria misterius itu. Keduanya menikah dan memiliki seorang putri bernama Jill yang dititipkan pada sepasang suami istri lanjut usia. Zobeida yang telah meninggal tiga tahun sebelumnya diketahui menyimpan kalung rubi ilegal di satu tempat.

Lantas, adakah hubungan antara permata itu dan kematian Walter? Dan dapatkah Ms. Marple menebak dimana permata itu disembunyikan? Lalu, bagaimanakan nasib Jill St. John setelah kematian kedua orang tuanya?

***

[2│Lelucon yang Aneh]
Paman Matthew yang eksentrik meninggal dunia dan menyerahkan warisannya kepada Edward Rossitier dan Charmian Stroud yang hendak menikah. Anehnya, warisan itu disembunyikan sedemikian rupa hingga kedua sejoli itu tak dapat menemukannya.

Putus asa, Edward dan Charmian meminta bantuan Ms. Marple. Tentu saja, Ms. Marple yang cerdik dapat menemukan harta itu dengan sangat mudah berkah selembar resep daging asap dan bayam tumbuk! Uniknya, wujud harta itu tidak terduga sebelumnya.

***
[3│Pembunuhan dengan Pita Pengukur]
Nyonya Spenlow terbunuh! Ia ditemukan tewas akibat tercekik di dalam rumahnya sendiri, dan hanya mengenakan selembar kimono. Tuan Spenlow, suami kedua Ny. Spenlow, lansung dicurigai sebagai pelakunya dengan motif warisan.

Namun begitu, Ms. Marple berpendapat lain. Berkat petunjuk berupa jarum pentul yang dipungut penyidik dari TKP, ia berhasil mengungkap cerita kelam masa lalu Ny. Spenlow saat menjadi pelayan sebuah keluarga kaya, dan dendam seorang teman lama.
***

[4│Kasus si Penjaga Rumah]
Harry Laxton yang memiliki reputasi sebagai biang kerok pada masa kecilnya kembali ke St. Mary Mead sebagai pria muda yang sukses bersama dengan  istrinya, Louise – wanita berdarah Perancis yang cantik, manja dan kaya raya. Kingsdean House, rumah masa kecil Harry pun disulapnya menjadi hunian megah dan nyaman.

Namun, pemugaran rumah ini mengusik Murgatroyd, penjaga rumah yang terpaksa pindah dari bangunan yang telah dijaganya selama lebih dari 30 tahun. Sakit hati, ia mengutuk Louise dengan membabi buta. Anehnya, tak lama Louise terbunuh dalam kecelakaan berkuda.

Apakah Louise meninggal secara wajar, ataukah ia dibunuh?
***

[5│Kasus Pelayan yang Sempurna]
Gladys, teman Edna (pelayan Ms. Marple), dituduh mencuri sebuah bros dan dipecat oleh Lavinia Skinner. Edna pun meminta bantuan majikannya untuk membersihkan nama baik temannya itu.

Lepas dipecatnya Gladys, tak seorang pun menyangka akan ada pelayan yang bersedia bekerja untuk kakak beradik Skinner. Pasalnya, Emily Skinner yang selalu beranggapan bahwa dirinya sakit terkenal rewel.

Anehnya, tak berapa lama, datanglah Marry Higgins, pelayan sempurna yang disarankan oleh sebuah agen. Berbeda dengan pendapat kebanyakan, Ms. Marple menganggap kesempurnaan sang pelayan baru itu janggal. Benar saja, tak berapa lama, flat tempat Skinner bersaudara dan tiga keluarga penyewa lainnya dirampok disusul menghilangnya Marry.

Apakah Marry benar-benar menghilang? Miss Marple dengan cerdik membantu polisi menemukan siapa dan dimana Marry sebenarnya.
***

[6│Ms. Marple Bercerita]
Mrs. Rhodes tewas ditusuk belati di sebuah kamar tertutup usai makan malam bersama suaminya. Tidak ada yang memasuki ruangan itu kecuali Mr. Rhodes dan seorang pelayan. Tentu saja, Mr. Rhodes pun dicurigai sebagai pelakunya.

Sebelum kejadian. Mrs. Rhodes diketahui menerima surat ancaman terkait sebuah kecelekaan akibat kelalaiannya dalam berkemudi.

Lalu, apakah Mr. Rhodes ataukah sang pelayan yang membunuh Mrs. Rhodes? Atau.. ada orang lain yang dengan misterius masuk ke dalam ruang tertutup itu?

***

[7│Boneka Sang Penjahit]
Sesosok boneka beledu misterius tiba-tiba muncul di sebuah butik. Alicia Combe yang terkenal pelupa tidak dapat mengingat bagaimana boneka itu bisa sampai ke tokonya. Anehnya, boneka itu dapat berpindah tempat sendiri!

Seisi penghuni butik dilanda ketakutan dan yakin bahwa boneka itu dirasuki roh jahat dan mengurungnya di sebuah ruang.

Akhinya, ingin terbebas dari ketakutan, Alicia membuang boneka beledu itu ke luar jendela. Ketika boneka itu dipungut oleh seorang anak kecil berpakaian lusuh, Alicia khawatir anak itu akan mendapatkan nasib buruk dan bersikeras mengambil kembali boneka itu.

Tak dinyana, jawaban bocah itu sungguh mengejutkan dan hati Alicia pun luluh.

***

[8│Teka-Teki Pantulan Cermin]
Ketika diundang berlibur di rumah seorang teman, seorang pemuda melihat pantulan seorang wanita pirang yang tengah dicekik suaminya di cermin, namun tidak menemukan apa pun.

Tak lama setelahnya, ia diperkenalkan dengan Sylvia dan Charles, tunangannya. Si pemuda terkejut karena bayangan yang dilihatnya di cermin adalah Sylvia. Pada saat itu jualah si pemuda jatuh cinta pada Sylvia, dan memperingatkan perihat bayangan yang ia lihat.

Ketika perang pecah, Charlie, tunangan Sylvia, dan Neil, sahabat si pemuda, terbunuh di medan perang. Sylvia dan si pemuda akhirnya menikah pasca perang. Sayangnya, si pemuda yang sangat takut kehilangan Sylvia berubah menjadi pencemburu yang posesif.

Suatu ketika, dibakar api cemburu, si pemuda mengejar Sylvia ke rumah tempat ia melihat bayangan bertahun-tahun sebelumnya. Tanpa berpikir panjang, ia mencekik istrinya itu. Ketika itulah, ia melihat pantulan di cermin, dan ternyata bayangan yang ia lihat bertahun-tahun lampau adaah bayangannya sendiri.

Akankan si pemuda membunuh istrinya karena terbakar cemburu?
˜˜


Ulasan Saya
“Maksud Anda ... Anda akan terus mencoba?” “Terus terang,” kata Ms. Marple, “saya bahkan belum mulai. ‘Tangkap dulu kelincinya,’ kata Mrs. Beaton dalam buku masakannya ...” (hal. 47).

DALAM Miss Marple’s Final Cases, Agatha Christie menunjukkan kepiawaiannya dalam meracik teka-teki di balik berbagai kasus yang seolah tanpa pemecahan. Tiap detilnya disusun rapi dan mengundang saya untuk berlatih lebih jeli melihat detil-detil kecil yang terlewat. Jika harus menggambarkan dengan sedikit kata, maka saya akan menggunakan kata penasaran.

Ya. Saya dibuat penasaran oleh kedelapan cerita rekaan Christie ini. Enam cerita di antaranya menampilkan tokoh Miss. Jane Marple, seorang wanita tua yang cerdik dalam membaca detil dan sifat manusia, dan dua lainnya menyuguhkan kisah berbau supernatural. Dua cerita yang paling saya sukai dalam kompilasi ini adalah ‘Lelucon yang Aneh’ dan ‘Boneka Sang Penjahit’.

‘Lelucon yang Aneh’ berkisah tentang pencarian harta karun yang disembunyikan oleh Paman Matthew yang eksentrik. Untuk menemukan harta karun tersebut, Miss. Marple berpegang pada prinsip bahwa jawaban dari segala pertanyaan sebenarnya sederhana. Yang perlu dilakukan pertama-tama adalah ‘menangkap kelincinya’ alias mengenali karakter dan kebiasaan pelaku terlebih dahulu. Pada bagian lain, Ms. Marple kurang lebih mengatakan bahwa sifat manusia itu pada dasarnya serupa dan ketika kita bisa mengenalinya, maka kita akan melihat jawabannya.

Betul saja, setelah mengamati tumpukan surat dan tagihan, Ms. Marple berhasil menemukan harta yang disimpan dalam sebuah laci rahasia meja antik. Harta itu pun tidak berwujud umum: sebuah perangko kuno yang langka. Ya, untuk menemukan jawaban, yang perlu dilakukan adalah menangkap kellincinya terlebih dulu.

Sentuhan berbeda disajikan Christie dalam ‘Boneka Sang Penjahit’. Tokoh Ms. Marple tidak muncul untuk memecahkan kasus boneka beledu misterius yang kerap berpindah tempat secara gaib sehingga menimbulkan ketakutan di butik milik Combe bersaudara. Saking takutnya, Alicia Combe pun membuang boneka itu dari jendela. Seorang bocah kecil memungutnya. Khawatir akan nasib si bocah, Alicia Combe meminta bocah itu untuk mengembalikan boneka. Jawaban si bocah sungguh menyentuh.

“Tidak mau! Tidak mau! Tidak mau! Dia milikki. Aku menyayanginya. Kalian membencinya. Kalau kalian tidak membencinya, tentu kalian tidak akan melemparkannya dari jendela. Aku menyayanginya, dan itulah yang diinginkannya Dia ingin disayangi.” (hal. 161)

Kisah ini membawa saya pada sebuah permenungan bahwa baik atau buruk dunia ini memperlakukan kita tergantung pada bagaimana cara kita melihatnya. Combe bersaudara yang ketakutan karena memandang boneka beledu itu sebagai jelmaan roh jahat akhirnya tersadar oleh cara pandang bocah kecil yang paham bahwa boneka itu hanya ingin disayangi.


Jika ada yang kurang saya sukai dari buku ini, itu adalah banyaknya nama tokoh yang muncul dalam satu kisah. Ini membuat saya sulit mencerna kisah. Namun demikian, hal ini selaras dengan pesan Christie bahwa dalam berbagai kompleksitas permasalahan, kita tetap harus berpikir sederhana – dalam rumitnya jejaring hubungan antar tokoh, kita perlu melihat pola besar yang ternyata tak serumit kelihatannya.

Sampai di penghujung buku, saya terheran akan banyaknya sentuhan humanis dalam kumpulan kisah pembuhuhan.

Rekomendasi
Buku ini tentunya akan sangat menghibur pecinta cerita detektif yang gemar turut memecahkan teka-teki,.

Pesan

Jawaban dari berbagai permasalahan sebenarnya sederhana, yang perlu dilakukan adalah menyederhanakan pola pikir dan mengarahkan pandangan ke arah yang tepat.



Salam,
Clara

Minggu, 30 Oktober 2016

Aleph



Judul Buku : Aleph
Judul Asli : O Aleph (Bahasa: Portugis)
Penulis : Paulo Coelho
Penterjemah : Margaret Jull Costa  (Bahasa Inggris)
Genre : Novel
Penerbit : Alfred A Knoff
Tahun terbit : 2011
Halaman : 288
eISBN : 978-0-307-95701-6
Rating saya : 4/5


Pernahkah kau merasa ‘mandeg’ (stagnan,  diam di tempat dan tidak dapat maju)? Lalu, adakah lahir tanya apakah memang jalan hidup sudah disuratkan cukup sampai titik ini, dan kemudian tanya itu terus menjadi: haruskah menerima begitu saja dan berhenti atau terus ‘memaksakan keberuntungan’ untuk terus tumbuh?

Saya yakin bahwa tanya itu adalah keresahan entah berapa banyak mausia lain, dan Coelho adalah salah satunya. Lewat memoarnya, ia pun membagikan kisahnya dalam menjawab keresahan itu lewat sebuah perjalanan.


Memoar Perjalanan Sang Penulis
Setelah 24 tahun menekuni tradisi spiritual, Coelho menemukan kebuntuan. Segala upayanya bagai tanpa hasil, dan ia mulai menyangsikan jalan yang ia pilih. Pada saat itulah J, sang guru spiritual, menyarankan agar ia merebut kembali ‘kerajaannya’ dengan sekali lagi mempercayai tanda-tanda yang diberikan semesta lewat sebuah peziarahan.

Salah satu pertanda pun datang pada sebuah pesta. Coelho dan istrinya bertemu dengan seorang cenayang yang meramalkan bahwa Celho harus melakukan peziarahan menuju “Jiwa Turki” dan akan menumpahkan darah di sana. Menganggap ramalan itu angin lalu, Coelho pun sempat melupakannya, namun ia tidak lupa akan saran untuk melakukan peziarahan. Kali ini, Coelho berhasil meyakinkan pihak penerbitnya untuk mempromosikan buku barunya melintasi jalur kereta api trans-Siberia yang membelah Rusia sejauh 9.288 km dan melintasi 7 wilayah waktu yang berbeda.

Saat singgah di sebuah kota, Coelho bertemu dengan Hilal, seorang gadis Turki pemain biola berbakat yang bersikukuh ingin menemaninya melintas Rusia. Awalnya Coelho menolak keberadaan Hilal; namun, di atas kereta trans-siberia itulah ia berhasil menemukan Aleph, yakni saat seluruh ruang dan waktu dalam semesta menyatu, dalam sorot mata hijau Hilal.

Sejak saat itu, pandangan Coelho terhadap Hilal berubah. Perlahan ia sadar bahwa mereka pernah bertemu di inkarnasi sebelumnya, ketika Coelho membunuh Hilal. Dihantui perasaan bersalah, Coelho pun mencoba untuk meminta pengampunan Hilal yang buta akan apa yang terjadi pada inkarnasi sebelumnya.

Akankah Hilal mengampuni Coelho, atau akankah darahnya tertumpah dalam perjalanannya menuju Hilal, si Jiwa Turki? Menurut saya, bukan jawaban dari pertanyaan ini yang menarik, tapi perjalanan batin untuk sampai di sanalah yang lebih sarat makna.

Perjalanan : Menghidupi Legenda Pribadi
Hidup adalah sebuah perjalanan: mengalir dari satu tempat menuju tempat lain, dari satu keadaan menuju keadaan lain. Perjalanan pun tak melulu bicara soal ranah fisik, tetapi juga spiritual.

Tema perjalanan paralel di ranah fisik dan spiritual inilah yang terasa kental dalam buku ini. Lewat novel yang sebenarnya adalah memoar kisah nyata ini, Coelho seolah hendak berpesan bahwa untuk sampai pada satu titik kita harus berani melangkah, dan percaya semesta akan mempertemukan kita dengan sosok dan hal yang kita perlukan ketika kita berani mengambil keputusan.

Dengan kata lain, untuk menciptakan legenda pribadi kita harus berani mengambil tindakan, dan terus bertanya, “Apakah saya sudah melakukan apa yang perlu dilakukan untuk tumbuh?”

Sekeping kisah tentang ‘tumbuh’ inilah yang menjadi bagian favorit saya di buku ini. Di tengah frustasi yang menderanya, Coelho secara tidak sengaja menemukan sebuah artikel tentang bambu Cina. Tahukah Anda? Bambu Cina menghabiskan lima tahun sebagai tunas kecil demi menumbuhkan akar yang kuat. Lalu, saat ia telah siap, dalam sekejap tunas kecil itu dapat tumbuh hingga 25 meter tingginya. Ya, bambu Cina itu tahu bahwa perjalanannya berbeda dengan flora lain: karena “perjalanan untuk tumbuh” itu unik dari pribadi lepas pribadi.

Satu hal lagi tentang bambu Cina yang begitu mengesan. Ibarat bambu Cina, “akarku sudah siap, tapi aku hanya dapat tumbuh dengan bantuan orang lain,” dan untuk itu beranilah untuk menjalani dan menghidup legenda pribadimu sambil tetap percaya Tuhan telah menyiapkan apa yang kita butuhkan di sepanjang perjalanan.

Untuk sobat yang merasa ‘stuck’ alias terjebak bagai tidak dapat tumbuh lebih lagi, saya sarankan membaca buku ini.

Salamat menikmati perjalanan.

Salam,

Jumat, 21 Oktober 2016

Dengarlah Nyanyian Angin



Judul                 : Hear The Wind Sing
Pengarang         : Haruki Murakami
Penerjemah       : Alfred Birnbaum
Bahasa              : Inggris
Penerbit            : Kodansha International Ltd.
Tahun terbit      : cetakan pertama 1979
Tebal halaman  : 130
ISBN                : 9784061860261

Buku ini berkisah tentang sesosok protagonis tak bernama yang menghabiskan liburan semester musim panasnya di kampung halamannya yang terletak dekat laut. Selama delapan belas hari musim panas di bulan Agustus 1970 itu, ia menghabiskan waktu bersama ‘Rat’ di bar milik J, sahabatnya yang mengidap depresi dan terobsesi menulis novel, mendengarkan siaran radio, dan memadu kasih dengan seorang gadis berjari sembilan yang juga tidak disebutkan namanya. Sepanjang cerita, sang tokoh yang kontemplatif ini berulang kali mengenang dan merenungi kisah cintanya dengan tiga perempuan di masa lalu: teman masa sekolah menengahnya, seorang gadis hippie yang ditemuinya di stasiun, dan mahasiswa sastra Prancis yang meski berujar bahwa ia adalah ‘raison d’etre’ (alasannya untuk hidup) namun memilih bunuh diri.

Layaknya seorang perenung yang pikirannya selalu menjelajah, sang tokoh utama tidak hanya menatapi kisah cintanya namun juga hal-hal yang dari permukaan seolah tidak saling berkaitan. Sebut saja tentang piringan hitam yang tak pernah ia kembalikan, tentang gadis 17 tahun yang sakit parah dan menghabiskan waktunya di rumah sakit, tentang siaran radio musim panas, tentang Rat yang tidak pernah mau menyebut seks ataupun kematian dalam novelnya, dan tentang penulis asal Amerika yang memilih mengakhiri hidupnya dengan terjun dari menara Empire State. Membacanya, aku merasa bagaikan membiarkan diriku mengapung mengikuti arus di lautan luas; mengalir tanpa tahu kemana muara dari rentetan kisah yang sulit kutangkap benang merahnya.

Tapi, bukankah hidup memang demikian? Kita tidak pernah benar-benar tahu kemana kita dibawa, dan apa yang hendak disajikan pada kita. Lalu, jika memang hidup penuh ketidakpastian yang pasti membuat kita terombang-ambing, bagaimanakah kita dapat menemukan ‘raison d’etre’ (alasan untuk hidup) itu?


TANPA KOSMETIK
Sahabat, jika kau mencari alur yang menggigit penuh ketegangan, maka kusarankan untuk urung membaca buku ini. Ya, seperti salah satu karya Murakami yang telah kubaca sebelumnya (What I Talk about When I talkabout Running), buku ini bisa dianggap sebagai novel realistik, dan kekuatan karya ini terletak pada kesederhanaan dan kedalaman maknanya. Murakami nampak berupaya menyajikan kisah semirip mungkin dengan realita yang sesungguhnya; tanpa bubuhan kosmetik, tanpa hiasan-hiasan artifisial. Hasilnya adalah tulisan yang dari permukaan tampak sederhana namun mampu menenggelamkan pembacanya dalam perenungan yang dalam.

Sahabat, kita tahu bahwa menjadi sederhana itu bukan perkara mudah. Lebih-lebih saat kita dihadapkan pada perkara kompleks yang sulit dimengerti. Lihat saja pada penggalan ini:

I stared at it in silence, the wind from the water clearing my ears. What I felt at that time, I really can’t put into words. No, wait, it wasn’t really a feeling. It was its own completely-packaged sensation. In other words, the cicadas and frogs and spiders, they were all one thing flowing into space.”

Betapa indahnya ketika aliran hidup dan segala di dalamnya digambarkan sebagai satu paket sensasi yang utuh—yang mengalir dalam kesatuan; seperti nyanyian angin.


HIDUP ITU ...
Keterasingan dan kesepian – itulah dua tema besar yang berkali-kali muncul dalam kisah ini. Terdengar putus asa? Tunggu dulu; justru di sini terletak satu hal menarik: dalam pelbagai kenestapaan hidup, manusia tetap dapat menemukan ‘raison d’etre’ – alasan untuk hidup. Seperti tertulis dalam surat gadis yang terbaring di rumah sakit pada sang penyiar radio:

[...] bahkan dalam pengalaman muram apapun yang kau jalani, selalu ada hikmah yang dapat dipelajari, dan karena inilah aku dapat menemukan kemauan untuk tetap bertahan hidup.”

Sahabat, ada satu hal lagi yang kusukai dari kisah ini : seluruh tokohnya tidak bernama. Kalaupun disebutkan, nama itu adalah nama panggilan. Bagiku, seolah Murakami hendak menyampaikan bahwa pencarian alasan hidup bukan hanya tentang orang-orang tertentu, namun juga tentang kamu, aku dan mungkin semua orang. Ya, pertanyaan “Apa alasanku hidup?” adalah keresahan seluruh umat manusia.

Lalu, apa alasan mekanjutkan hidup yang kisahnya tidak terangkai sempurna ini? Murakami berujar:

“The truth in this life: life is empty. However, help is available. If you know from the outset, it’s almost as if life’s not really meaningless at all.”

[Kebenaran dalam hidup ini: kehidupan ini kosong. Namun, pertolongan selalu tersedia. Jika kamu tahu sedari awal, hidup tidaklah sama sekali tanpa arti.]

Ya, ternyata hidup adalah tentang memberi makna pada perjalanan fana ini.


Salam,

Minggu, 11 September 2016

Gadis Jeruk


Judul: Gadis Jeruk
Judul Asli: Appelsinpiken
Pengarang; Joostein Gaarder
Alih Bahasa: Yuliani Liputo
Penerbit: Mizan
Tahun terbit: 2011
Jumlah Halaman: 252


"Bayangkan...
Kamu boleh memilih:
apakah kamu ingin dilahirkan [...]. Kamu tidak tahu kapan akan dilahirkan, tidak juga berapa lama kamu hidup, tapi itu takkan lebih dari beberapa tahun.
Yang kamu ketahui hanyalah bahwa, jika kamu memilih untuk hadir [...] di dunia ini,
kamu harus meninggalkannya lagi suatu hari dan pergi meninggalkan segalanya.
"


Sahabat,
Jika kau diperhadapkan pada pilihan: lahir dan hadir di dunia dengan segala suka dukanya untuk pada akhirnya dicerabut dari kehidupan itu ataukah menolak menjelma lahir dan lepas dari samsara pengalaman manusia, manakah yang akan kau pilih?

Pertanyaan itulah yang diurai Gaarder dalam buku setebal 252 halaman ini. Seperti biasa, Gaarder memang ulung menenun pertanyaan-pertanyaan filosofis menjadi seuntai cerita yang manis. Ingatkah kau betapa aku terkesima dengan caranya mengisahkan berbagai aliran filsafat dalam wujud novel penuh kejutan berjudul Sophie's World? Buku ini tidak seberat itu, tapi toh tetap sarat makna. Mungkin karena tidak terlalu berat, tak terasa aku berhasil menyelesaikannya hanya dalam beberapa jam saja.

Mari kuajak menelusuri sekilas jalan cerita yang mengajak kita berpikir sedikit lebih dalam ini. 

Suatu hari, Georg yang saat itu berusia 15 tahun menerima surat dari mendiang ayahnya yang wafat 11 tahun silam. Dalam surat itu, ayahnya, Jan Olaf, menceritakan kisah cinta penuh teka-tekinya dengan sesosok Gadis Jeruk yang jelita. Pertemuan pertama sang ayah dengan si Gadis Jeruk bermula di sebuah trem. Jan Olaf muda tersihir pesona gadis ber-anorak jingga yang membawa sekantung kertas besar jeruk kualitas bagus. Ketika trem hendak berbelok, demi mencegah jeruk-jeruk itu jatuh, Jan berusaha membantu sang gadis. Namun, alih-alih menolong, sekantung besar jeruk itu justru jatuh bergelindingan memenuhi trem yang padat. Sang gadis pun turun di pemberhentian berikut tanpa meninggalkan petunjuk apa pun. Jan yang telah jatuh cinta pada gadis jeruk misterius itu pun kemudian terus mencarinya dengan berbagai cara hingga akhirnya mereka berjumpa lagi dalam beberapa kesempatan tak terduga; namun, tidak banyak petunjuk yang terungkap. Hingga pada malam Natal, Jan melihat si gadis di gereja. Ia pun bertekad membuntuti sang gadis dan mengungkap rasa cintanya. Di luar dugaan si gadis menyetujuinya dengan satu syarat: ia harus bersabar tidak menemuinya selama 6 bulan. Setelah itu ia berjanji akan menghabiskan tiap harinya pada 6 bulan berikut dengannya.

Sahabat, tidakkah ini terdengar seperti kisah dongeng? Ya, Gaarder menulis bahwa kehidupan kita bagaikan sebuah dongeng dengan aturan-aturan yang seringnya tidak masuk akal; tapi tidak dapat dibantah.

Berhasilkah Jan Olaf menemukan identitas si Gadis Jeruk? Jika kuceritakan, maka kau akan kehilangan kenikmatan membaca buku ini kelak. Maka, biarlah kusimpan bagian itu.

Mari kuajak kau melompat ke bagian lain buku ini. Pada bagian ini, di tengah berbagai kebahagiaanya (pernikahan dengan gadis impiannya, karier sebagai seorang dokter yang cemerlang, dan kelahiran putra sulungnya), Jan divonis mengidap penyakit mematikan. Ada banyak hal yang ingin disampaikannya pada Georg yang saat itu baru berusia 4 tahun. Sayangnya, Georg belum bisa mengerti konsep-konsep rumit. Maka, Jan menuliskan surat untuk dibaca putranya di masa depan; surat tentang kisah cintanya yang sedih dengan si Gadis Jeruk. Di surat yang dibaca putranya 11 tahun kemudian itu ia meminta Georg untuk memecahkan teka-teki seputar gadis jeruk dan menjawab pertanyaan mendasar tadi: akankah kamu tetap memilih untuk hidup jika tahu pada akhirnya kau akan dicerabut dari kehidupan itu?

Aku menikmati membaca buku ini. Buku ini tidak sekedar bertutur tapi juga menitipkan pesan yang mendalam. Pesan yang masih terkecap di lidah bahkan setelah halaman terakhir lama kuselesaikan. Aftertaste yang kuat seperti rasa kopi pahit yang biasa kuseruput tiap pagi. Jika ditanya bagian mana yang paling kusukai, maka itu adalah adegan dimana Jan Olaf yang tahu hidupnya akan segera berakhir menggendong Georg kecil dan mengajaknya duduk memandang bintang sambil mengisahkan ketakjubannya akan semesta luas. 

Pada akhirnya, kalau aku diberi pilihan yang sama, seperti Georg, aku akan memilih untuk hidup dan hadir di dunia ini dengan segala kefanaannya. Aku ingin mengalami pengalaman manusia dengan segala suka dukanya dan berusaha memahami tujuan hidupku di muka bumi ini.

Jika sempat, bacalah buku ini sahabat, dan bayangkan dirimu menatap lautan bintang dengan mata semesta.

Salam,