Minggu, 11 September 2016

Gadis Jeruk


Judul: Gadis Jeruk
Judul Asli: Appelsinpiken
Pengarang; Joostein Gaarder
Alih Bahasa: Yuliani Liputo
Penerbit: Mizan
Tahun terbit: 2011
Jumlah Halaman: 252


"Bayangkan...
Kamu boleh memilih:
apakah kamu ingin dilahirkan [...]. Kamu tidak tahu kapan akan dilahirkan, tidak juga berapa lama kamu hidup, tapi itu takkan lebih dari beberapa tahun.
Yang kamu ketahui hanyalah bahwa, jika kamu memilih untuk hadir [...] di dunia ini,
kamu harus meninggalkannya lagi suatu hari dan pergi meninggalkan segalanya.
"


Sahabat,
Jika kau diperhadapkan pada pilihan: lahir dan hadir di dunia dengan segala suka dukanya untuk pada akhirnya dicerabut dari kehidupan itu ataukah menolak menjelma lahir dan lepas dari samsara pengalaman manusia, manakah yang akan kau pilih?

Pertanyaan itulah yang diurai Gaarder dalam buku setebal 252 halaman ini. Seperti biasa, Gaarder memang ulung menenun pertanyaan-pertanyaan filosofis menjadi seuntai cerita yang manis. Ingatkah kau betapa aku terkesima dengan caranya mengisahkan berbagai aliran filsafat dalam wujud novel penuh kejutan berjudul Sophie's World? Buku ini tidak seberat itu, tapi toh tetap sarat makna. Mungkin karena tidak terlalu berat, tak terasa aku berhasil menyelesaikannya hanya dalam beberapa jam saja.

Mari kuajak menelusuri sekilas jalan cerita yang mengajak kita berpikir sedikit lebih dalam ini. 

Suatu hari, Georg yang saat itu berusia 15 tahun menerima surat dari mendiang ayahnya yang wafat 11 tahun silam. Dalam surat itu, ayahnya, Jan Olaf, menceritakan kisah cinta penuh teka-tekinya dengan sesosok Gadis Jeruk yang jelita. Pertemuan pertama sang ayah dengan si Gadis Jeruk bermula di sebuah trem. Jan Olaf muda tersihir pesona gadis ber-anorak jingga yang membawa sekantung kertas besar jeruk kualitas bagus. Ketika trem hendak berbelok, demi mencegah jeruk-jeruk itu jatuh, Jan berusaha membantu sang gadis. Namun, alih-alih menolong, sekantung besar jeruk itu justru jatuh bergelindingan memenuhi trem yang padat. Sang gadis pun turun di pemberhentian berikut tanpa meninggalkan petunjuk apa pun. Jan yang telah jatuh cinta pada gadis jeruk misterius itu pun kemudian terus mencarinya dengan berbagai cara hingga akhirnya mereka berjumpa lagi dalam beberapa kesempatan tak terduga; namun, tidak banyak petunjuk yang terungkap. Hingga pada malam Natal, Jan melihat si gadis di gereja. Ia pun bertekad membuntuti sang gadis dan mengungkap rasa cintanya. Di luar dugaan si gadis menyetujuinya dengan satu syarat: ia harus bersabar tidak menemuinya selama 6 bulan. Setelah itu ia berjanji akan menghabiskan tiap harinya pada 6 bulan berikut dengannya.

Sahabat, tidakkah ini terdengar seperti kisah dongeng? Ya, Gaarder menulis bahwa kehidupan kita bagaikan sebuah dongeng dengan aturan-aturan yang seringnya tidak masuk akal; tapi tidak dapat dibantah.

Berhasilkah Jan Olaf menemukan identitas si Gadis Jeruk? Jika kuceritakan, maka kau akan kehilangan kenikmatan membaca buku ini kelak. Maka, biarlah kusimpan bagian itu.

Mari kuajak kau melompat ke bagian lain buku ini. Pada bagian ini, di tengah berbagai kebahagiaanya (pernikahan dengan gadis impiannya, karier sebagai seorang dokter yang cemerlang, dan kelahiran putra sulungnya), Jan divonis mengidap penyakit mematikan. Ada banyak hal yang ingin disampaikannya pada Georg yang saat itu baru berusia 4 tahun. Sayangnya, Georg belum bisa mengerti konsep-konsep rumit. Maka, Jan menuliskan surat untuk dibaca putranya di masa depan; surat tentang kisah cintanya yang sedih dengan si Gadis Jeruk. Di surat yang dibaca putranya 11 tahun kemudian itu ia meminta Georg untuk memecahkan teka-teki seputar gadis jeruk dan menjawab pertanyaan mendasar tadi: akankah kamu tetap memilih untuk hidup jika tahu pada akhirnya kau akan dicerabut dari kehidupan itu?

Aku menikmati membaca buku ini. Buku ini tidak sekedar bertutur tapi juga menitipkan pesan yang mendalam. Pesan yang masih terkecap di lidah bahkan setelah halaman terakhir lama kuselesaikan. Aftertaste yang kuat seperti rasa kopi pahit yang biasa kuseruput tiap pagi. Jika ditanya bagian mana yang paling kusukai, maka itu adalah adegan dimana Jan Olaf yang tahu hidupnya akan segera berakhir menggendong Georg kecil dan mengajaknya duduk memandang bintang sambil mengisahkan ketakjubannya akan semesta luas. 

Pada akhirnya, kalau aku diberi pilihan yang sama, seperti Georg, aku akan memilih untuk hidup dan hadir di dunia ini dengan segala kefanaannya. Aku ingin mengalami pengalaman manusia dengan segala suka dukanya dan berusaha memahami tujuan hidupku di muka bumi ini.

Jika sempat, bacalah buku ini sahabat, dan bayangkan dirimu menatap lautan bintang dengan mata semesta.

Salam,